Menilik Tradisi Aqiqah di Sulawesi Selatan
Menilik Tradisi Aqiqah di Sulawesi Selatan
Aqiqah adalah peristiwa agama berupa penyembelihan kambing bagi bayi yang baru lahir, satu ekor kambing untuk perempuan dan dua ekor kambing untuk laki-laki, yang disedekahkan kepada kerabat dan handaitolan. Di Indonesia, ritual aqiqah tersebut dipadu dengan tradisi dan kearifan lokal sehingga menjadi sebuah peristiwa yang menarik dan penuh makna.
Di Sulawesi Selatan yang didominasi oleh suku Bugis dan Makassar, syukuran aqiqahan ini sangat kental dengan makna penyelamatan lingkungan dan pesan moral agar melihat dalam perspektif jangka panjang sampai lintas generasi, bukan berfikir secara instan sehingga kelahiran sebuah generasi baru tidak merusak atau membebani alam sekaligus menjaga tradisi gotong royong dan memelihara kekerabatan.
NU Online sempat mengikuti sebuah acara prosesi upacara aqiqahan di kelurahan Pundata Baji, Kec. Labakkang Kab. Pangkep Jum’at (8/2) atas seorang bayi perempuan dengan nama Anindyanari Lintang Amala, putrid campuran Jawa-Makassar yang diaqiqahi pada hari ketujuh kelahirannya. Terdapat beberapa ritual dan sejumlah barang yang harus disediakan yang menjadi simbol dan doa bagi masa depan bayi.
Aqiqah dan Gelar Adat
Terdapat perbedaan persyaratan bagi bayi yang masih keluarga bangsawan dengan gelar karaeng, andi, atau daeng, dengan masyarakat biasa. Sebagai anak yang masih memiliki darah bangsawan suku Makassar, ia diwajibkan untuk menyediakan 29 bibit kelapa. Dalam acara aqiqahan, bibit kelapa tersebut dihias dengan indah dan ditaruh dalam kamar bayi. Beras yang ditaruh dalam baskom juga dihias dengan bentuk kepala manusia.
Penanaman kelapa ini merupakan upaya agar bayi yang baru lahir telah dipersiapkan sebagian dari kebutuhan hidupnya. Kelapa, buah yang bermanfaat dari akar sampai ujung daun tersebut akan berbuah ketika sang bayi sudah menginjak remaja yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan hidupnya. Terdapat pesan moral yang penting bahwa segala sesuatu telah dipersiapkan bagi kehidupan bayi dalam perspektif jangka panjang dan tidak merusak alam. Tradisi ini sangat kontekstual pada masa sekarang ini dimana alam dieksploitasi habis-habisan sehingga menimbulkan berbagai bencana alam.
Sayangnya tradisi yang sangat bagus ini bagi sebagian masyarakat hanya menjadi simbol saja karena perubahan kondisi sosial masyarakat. Perubahan dari masyarakat agraris dengan kepemilikan tanah yang luas tentu tidak mengalami masalah dalam menjalankan tradisi ini. Tetapi ketika masyarakat sudah hidup di perkotaan dengan kepemilikan tanah hanya selebar petak rumahnya saja, tampaknya perlu ada perubahan tradisi yang lebih fleksibel terkait dengan penyelamatan lingkungan.
Bayi yang baru lahir juga disediakan dua ekor ayam yang masih usia muda dan sebutir telur ayam. Ayam merupakan binatang yang bisa berkembang biak dengan cepat dan memiliki nilai gizi yang sangat bagus. Untuk mengenalkan diri dengan binatang, saat prosesi aqiqah, dahi bayi dan ibunya disentuhkan dengan ayam-ayam tersebut.
Selain itu disediakan pula sebuah kelapa muda yang dibuka dan airnya digunakan untuk membasahi gunting guna memotong rambut sang bayi. Kelapa muda melambangkan sebuah kesegaran, kemudaan, dan kesehatan yang diharapkan selalu menyertai kehidupan anak yang dilahirkan tersebut. Sebelas lilin kecil merupakan simbol agar kehidupannya selalu diliputi jalan terang.
Dua potong gula merah juga disediakan sebagai simbolisasi agar kehidupan anak tersebut selalu manis, menyenangkan, dan penuh kegembiraan. Ditambah pula dengan dua buah pala yang berisi pengharapan agar bayi tersebut bisa bermanfaat bagi orang lain. Ia akan selalu ada ketika orang lain membutuhkannya.
Tak ketinggalan, sebuah tasbih dengan sebuah cincin emas yang dicelupkan ke air kemudian disentuhkan di dahi menunjukkan agar ajaran agama selalu menjadi pegangan dalam seluruh kehidupannya. Untuk menambah suasana, dinyalakan pula dupa untuk wewangian dalam prosesi potong rambut bayi yang dilakukan oleh dukun bayi terlatih yang telah membantu merawat bayi.
Bagi dukun bayi, mereka diberi sedekah berupa 12 macam jenis kue yang ditaruh dalam satu nampan, 8 liter beras dan uang 20 ribu rupiah yang dibawa pulang setelah prosesi tersebut selesai.
Ari-ari yang merupakan bagian tubuh bayi saat dilahirkan menjadi bagian penting. Setelah dicuci, ari-ari tersebut ditanam dengan harapan agar bayi tersebut selalu ingat akan kampung halaman dimana ia dilahirkan.
Pembacaan barasanji atau syair barzanji juga umum diselenggarakan pada malam aqiqahan. Pada acara tersebut rambut bayi dipotong dan ada pula pembagian minyak wangi kepada jamaah yang membacakan syair-syair pujian kepada Rasulullah.
Bagi orang Bugis-Makassar, perayaan akikah diselenggarakan cukup meriah. Pada acara tersebut sekitar 300 orang kerabat dan relasi diundang. Keluarga dekat telah berdatangan sehari sebelumnya untuk membantu menyiapkan pesta. Para tamu yang datang biasanya memberikan sumbangan atau kado untuk bayi. Tamu-tamu juga turut melihat si kecil yang kini telah menjadi anggota baru dalam keluarga tersebut.
Sayangnya, kekayaan tradisi dan kearifan lokal ini seringkali kurang dipahami maknanya secara utuh. Masyarakat hanya melaksanakan apa yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya tanpa memahami makna dan filosofinya. Sebagian masyarakat bahkan menganggap hal ini sebagai bid’ah yang harus ditinggalkan.
Seorang gadis memaknai pemberian bunga dari seorang pria sebagai simbol dan tanda cinta. Tentunya Allah juga memahami doa melalui simbol-simbol yang dibuat hambanya. (Mukafi Ni’am)
Comments
Post a Comment